TNI di Papua: Pilar Konstitusi, Bukan Represi

    TNI di Papua: Pilar Konstitusi, Bukan Represi

    JAYAPURA - Isu miring mengenai kehadiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Papua yang disebut sebagai bentuk penindasan terhadap masyarakat lokal kembali mengemuka. Tuduhan ini mencuat setelah kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) secara tegas menolak rencana pembangunan pos militer di Puncak Jaya dan sembilan wilayah lainnya. Mereka bahkan melontarkan ancaman penyerangan terhadap aparat keamanan dan mendesak warga non-Papua untuk segera meninggalkan daerah tersebut. Namun, di balik propaganda yang menyesatkan tersebut, kehadiran TNI sejatinya merupakan langkah konstitusional, sah, dan berlandaskan hukum negara, bukan tindakan represif yang merugikan masyarakat.

    “Kehadiran prajurit TNI di Papua adalah bentuk tanggung jawab negara dalam menjamin rasa aman bagi seluruh warga, termasuk masyarakat asli Papua. Ini bukan penindasan, ini perlindungan, ” tegas Pangkoops Habema, Mayjen TNI Lucky Avianto, kepada wartawan pada Rabu (12/11/2025).

    Ia menjelaskan bahwa pembangunan pos militer di wilayah rawan seperti Puncak Jaya merupakan amanat konstitusi, sejalan dengan tugas TNI dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dasar hukum keberadaan TNI di Papua tertuang jelas dalam UUD 1945 Pasal 30, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, serta Perpres Nomor 66 Tahun 2019 tentang susunan organisasi TNI. Seluruh regulasi tersebut memberikan mandat kepada TNI untuk menangani ancaman separatis bersenjata dan menjaga stabilitas wilayah strategis, termasuk perbatasan.

    Berbeda dari tudingan kelompok separatis, TNI kini mengimplementasikan strategi pendekatan teritorial yang humanis, sesuai dengan amanat Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua. Dalam pelaksanaannya, prajurit TNI tidak hanya berfokus pada aspek keamanan, tetapi juga aktif terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Mereka turut serta dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan, mendukung pembangunan infrastruktur pedesaan, serta berupaya memperkuat komunikasi sosial antara aparat dengan masyarakat adat. Kepada saya, Kolonel Inf Andri Sitorus, Komandan Satgas di wilayah Puncak Jaya, berbagi pengalaman: “Kami tidak datang membawa senjata untuk menakuti, tapi membawa semangat persaudaraan. Setiap pos kami adalah rumah rakyat tempat masyarakat bisa datang meminta bantuan kapan pun.”

    Kehadiran TNI di wilayah pedalaman Papua juga mendapatkan apresiasi yang tulus dari para tokoh adat setempat. Yonas Wanimbo, seorang tokoh masyarakat Puncak Jaya, dengan tegas menyatakan bahwa keberadaan pos TNI justru membawa rasa aman yang sangat dibutuhkan oleh warga.

    “Kalau tidak ada TNI, kami takut keluar rumah. Banyak masyarakat diserang kelompok bersenjata. Sekarang kami bisa berkebun dan anak-anak bisa sekolah lagi, ” ungkap Yonas dengan nada penuh harap.

    Ia menilai bahwa masyarakat pada dasarnya menginginkan kedamaian dan pembangunan, bukan terperangkap dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.

    Sementara itu, serangan dan ancaman yang dilancarkan oleh TPNPB-OPM terhadap tenaga medis, guru, dan pekerja proyek pemerintah dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter Internasional. Tindakan ini juga bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

    “Menyerang masyarakat sipil adalah tindakan teror, bukan perjuangan. Itu pelanggaran prinsip Distinction dan Proportionality dalam hukum konflik bersenjata, ” tegas Dr. Marthen Tabuni, Pakar Hukum Internasional dari Universitas Cenderawasih.

    Ia menekankan bahwa kekerasan terhadap warga sipil tidak dapat dibenarkan dalam situasi apa pun, dan negara memiliki hak serta kewajiban untuk mengambil langkah hukum demi melindungi rakyatnya.

    Pembangunan pos militer di Papua bukanlah sekadar simbol perang, melainkan representasi konkret dari kehadiran negara di wilayah tersebut. Pos TNI menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan, mengawal jalannya pembangunan, serta memastikan setiap warga negara, dari pelosok pegunungan hingga pesisir pantai, mendapatkan perlindungan yang sama di bawah naungan bendera merah putih.

    “Kita tidak ingin Papua menjadi wilayah tanpa hukum. Kehadiran TNI adalah wujud nyata negara hadir sampai ke pelosok, ” ujar Mayjen Lucky Avianto, menegaskan komitmen negara.

    Di tengah derasnya arus propaganda separatis, fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa masyarakat merasakan dampak positif dari kehadiran TNI. Pos militer telah menjelma menjadi tempat perlindungan, pusat pelayanan sosial, dan wadah dialog yang efektif antara rakyat dan aparat. Dengan pendekatan yang kian inklusif dan humanis, TNI terus berupaya membuktikan bahwa mereka bukanlah musuh rakyat Papua, melainkan pelindung yang setia.

    Kehadiran TNI di Papua adalah langkah konstitusional, legal, dan dilandasi semangat kemanusiaan. Setiap prajurit yang mengemban tugas di tanah Cenderawasih membawa satu pesan mendalam: “Kami hadir bukan untuk menindas, tapi untuk menjaga kehidupan dan harapan rakyat Papua.” 

    (PERS)

    papuauntuknkri tnihumanis nkrihargamati papuadamai tniuntukrakyat jurnalismefaktual
    Jurnalis Agung

    Jurnalis Agung

    Artikel Sebelumnya

    Senyum Warga Sugapa Mengembang Berkat Layanan...

    Artikel Berikutnya

    Sentuhan Kasih Masariku: Gizi Anak Papua...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Satgas 408/Sbh Harmoniskan Papua Lewat Simbol Merah Putih di Gereja
    Pos TNI Nenggeagin: Jembatan Aman Warga Papua Tengah
    Satgas Yonif 408/Sbh: Komsos Humanis Bangun Kepercayaan di Nenggeagin
    Jembatan Satgas Yonif 712: Akses Tanpa Sekat bagi Warga Intan Jaya
    Marinus Gea: Perjalanan Politik dan Pengabdian dari Daerah Pemilihan Banten III

    Ikuti Kami