JAKARTA - Ketegangan di Papua kembali memanas menyusul ancaman kelompok bersenjata TPNPB-OPM terhadap pembangunan pos TNI di Puncak Jaya dan sembilan wilayah lain yang mereka klaim sebagai 'zona perang'. Ancaman ini bahkan meluas dengan ultimatum agar masyarakat non-Papua segera meninggalkan wilayah tersebut, serta peringatan serangan terhadap aparat keamanan.
Pemerintah melalui Mabes TNI menilai pernyataan tersebut menyesatkan dan bertentangan dengan hukum nasional maupun internasional. Kehadiran TNI di Bumi Cenderawasih ditegaskan sebagai langkah konstitusional dan legal demi melindungi keselamatan seluruh warga dari ancaman kelompok separatis bersenjata.
“TNI hadir bukan untuk menyerang atau menekan masyarakat Papua. Kehadiran pos keamanan adalah bagian dari operasi sah negara yang bertujuan melindungi warga sipil dari aksi kekerasan kelompok bersenjata, ” ujar Juru Bicara Keamanan Papua dari Mabes TNI, Kolonel Inf Aria Prasetya, di Jakarta, Senin (8/12/2025).
Kolonel Aria menjelaskan, seluruh tindakan TNI berlandaskan hukum yang kuat, termasuk amanat UUD 1945 Pasal 30 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Mandat ini memberi kewenangan jelas bagi TNI untuk menanggulangi gerakan separatis bersenjata dan mengamankan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Ini bukan kebijakan ad-hoc. Ini mandat konstitusi. Penempatan pasukan di wilayah rawan adalah langkah legal yang dilakukan demi melindungi masyarakat, ” tegas Kolonel Aria.
Lebih dari sekadar operasi keamanan, pengerahan personel TNI di Papua merupakan bagian dari pendekatan pembangunan yang humanis, sejalan dengan Inpres No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua. Dalam implementasinya, TNI berperan aktif mendukung layanan kesehatan dan pendidikan, membantu distribusi logistik di daerah terpencil, membangun komunikasi sosial, serta menjaga kelancaran pembangunan infrastruktur strategis.
Komandan Komando Operasi TNI Habema (Pangkoops Habema), Mayjen TNI Lucky Avianto, menekankan bahwa setiap operasi TNI dijalankan secara terukur dengan tetap menghormati prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kami bergerak profesional dan proporsional. Yang kami lindungi adalah warga sipil — baik Papua maupun non-Papua. TNI tidak pernah menargetkan rakyat. Fokus kami adalah mencegah kekerasan, bukan menciptakannya, ” kata Mayjen Lucky.
Ia juga menyoroti bagaimana ancaman TPNPB-OPM justru menempatkan masyarakat sipil sebagai korban potensial.
“Mengusir warga sipil dan menyerang tenaga kesehatan, guru, atau pekerja pembangunan adalah pelanggaran serius hukum humaniter. Ini bukan perjuangan, ini tindakan teror, ” tegas Mayjen Lucky.
Menanggapi ancaman tersebut, Pengamat Hukum Keamanan Negara, Dr. Herlambang Purwanto, menyatakan bahwa ultimatum TPNPB terhadap warga sipil non-Papua memenuhi unsur tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2018.
“Mengintimidasi masyarakat sipil dengan ancaman kekerasan, menebar teror, dan melakukan serangan terhadap tenaga pendidik maupun medis adalah bentuk kejahatan terorisme. Ini tidak bisa dibenarkan dalam konteks apa pun, ” jelas Dr. Herlambang.
TNI menegaskan komitmennya untuk menjaga Papua dengan tiga prinsip utama: legalitas, akuntabilitas, dan profesionalitas. Seluruh operasi teritorial dan keamanan yang dijalankan adalah bagian integral dari upaya negara melindungi warganya, sebagaimana amanat undang-undang.
Kolonel Aria menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa Papua bukanlah ruang bagi kekerasan politik bersenjata.
“Masyarakat Papua berhak atas rasa aman dan pembangunan seperti warga Indonesia lainnya. TNI hadir di Papua bukan untuk menindas, tetapi untuk memastikan tidak ada satu pun warga yang menjadi korban kekerasan, ” pungkasnya.
