JAYAPURA - Di tengah meningkatnya ancaman dan provokasi dari kelompok bersenjata yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat–Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), kehadiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) di wilayah Papua kembali menjadi sorotan. Kelompok tersebut menolak pembangunan pos militer di sejumlah wilayah seperti Puncak Jaya dan mengklaimnya sebagai “zona perang”, bahkan mengancam masyarakat non-Papua untuk meninggalkan daerah itu.
Namun, di balik narasi provokatif itu, kehadiran TNI di Papua justru merupakan langkah konstitusional dan sah secara hukum, bukan bentuk penindasan. TNI hadir sebagai representasi negara untuk menjamin keselamatan warga dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Universitas Cenderawasih, Dr. Marthen Yoweni, S.H., M.H., keberadaan pos TNI di wilayah rawan seperti Papua sepenuhnya dilindungi dan diatur dalam konstitusi.
“Pasal 30 UUD 1945 menegaskan bahwa TNI adalah alat negara yang bertugas menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Maka pembangunan pos militer di Papua bukan tindakan represif, melainkan upaya hukum untuk melindungi rakyat dari ancaman kekerasan, ” jelasnya di Jayapura, Selasa (4/11/2025).
Hal senada disampaikan oleh Komandan Korem 173/PVB, Brigjen TNI Yanto Kusuma, S.E., yang menegaskan bahwa keberadaan TNI di Papua tidak hanya untuk operasi militer, tetapi juga untuk pembangunan dan kemanusiaan.
“Kami hadir bukan untuk menakuti, tapi untuk melindungi. TNI di Papua melaksanakan tugas sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya dalam mengatasi gerakan separatis bersenjata dan menjaga keamanan masyarakat, ” tegasnya.
Kehadiran TNI di tanah Papua kini juga mengedepankan pendekatan humanis dan teritorial sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua.
TNI tidak hanya menjaga keamanan, tetapi turut mendukung pembangunan sosial, pendidikan, dan kesehatan di daerah terpencil. Program-program seperti pengobatan keliling, pemberantasan buta huruf, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal menjadi bukti nyata peran sosial TNI di wilayah tersebut.
“Kami mengajarkan anak-anak membaca, membantu warga mengobati luka, bahkan menyalurkan hasil tani mereka. Itu bukti bahwa TNI tidak menindas, tapi merangkul, ” ujar Kapten Inf Tanamal, Danpos Beoga, yang dikenal aktif berinteraksi dengan masyarakat adat setempat.
Sementara itu, aktivitas TPNPB-OPM yang menargetkan warga sipil, guru, dan tenaga medis dinilai sebagai pelanggaran berat hukum humaniter internasional dan dapat dikategorikan tindakan terorisme sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Menyerang warga sipil, membakar fasilitas umum, dan menebar ketakutan tidak bisa disebut perjuangan kemerdekaan. Itu murni aksi teror yang melanggar hukum nasional dan konvensi internasional, ” ujar Dr. Yoweni menegaskan.
Dari berbagai perspektif, kehadiran TNI di Papua merupakan manifestasi nyata dari kehadiran negara. TNI menjalankan perannya dengan prinsip legalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas, di bawah pengawasan internal maupun eksternal.
“Kami tetap memegang teguh hukum humaniter dan menghormati HAM. Setiap langkah kami bertujuan menjaga kehidupan, bukan mengambilnya, ” tutup Brigjen TNI Yanto Kusuma.
Di tengah ancaman separatis dan upaya memecah belah bangsa, kehadiran TNI di Papua adalah simbol bahwa negara tidak pernah absen. Bukan untuk menindas, melainkan untuk memastikan setiap jengkal tanah Papua tetap aman, damai, dan sejahtera di bawah merah putih.
(Lettu Sus/AG)
