LANNY JAYA - Setelah dua tahun terbungkus keheningan, landasan pacu Bandara Nenggeagin di Distrik Nenggeagin, Kabupaten Lanny Jaya, kembali bergemuruh. Tepat pada Jumat, (28/11/2025), pukul 09.17 WIT, pesawat perintis mendarat, memecah kesunyian yang telah berlangsung lama. Momen ini disambut haru dan sorak-sorai warga yang sekian lama terputus dari denyut kehidupan modern.
Bandara yang vital bagi akses masyarakat pedalaman ini terhenti operasinya sejak 2023, menyusul insiden keamanan yang berdampak pada penerbangan. Sejak saat itu, Nenggeagin seolah terisolasi, terputus dari pasokan obat-obatan, bahan pokok, serta jalur transportasi bagi pelajar dan pasien rujukan.
"Kami harus berjalan dua sampai tiga hari hanya untuk mencari obat. Biaya hidup naik drastis karena semua logistik ditarik lewat darat. Kami seperti hidup dalam kepungan sunyi, " ungkap Omes Tabuni, salah seorang warga yang menyaksikan langsung pendaratan bersejarah tersebut. Tangis haru Omes pecah saat melihat pesawat mendekat.
"Saya menangis bukan karena sedih, tapi karena akhirnya kami tidak sendiri lagi. Hari ini pintu kehidupan kami terbuka lagi. Terima kasih Satgas, Pemda, dan gereja yang sudah memperjuangkan ini, " tambahnya dengan suara bergetar.
Pembukaan kembali bandara ini merupakan buah kerja keras kolaboratif antara Satgas Yonif 408/Sbh Pos Nenggeagin, Pemerintah Daerah Lanny Jaya, dan Gereja GIDI Klasis Kuyawage (GIDI). Selama dua pekan terakhir, mereka bahu-membahu membersihkan dan merapikan landasan pacu serta area terminal darurat, sembari memastikan keamanan wilayah.
Danpos Nenggeagin, Kapten Inf Subur, menekankan makna mendalam dari pendaratan ini. "Hari ini bukan sekadar membuka bandara. Hari ini kita membuka kembali masa depan. Dua tahun terlalu lama bagi masyarakat menunggu. Kami hadir agar landasan ini tetap aman, tetap hidup, dan harapan yang bangkit hari ini tak boleh tertutup lagi, " tegasnya.
Bagi masyarakat Nenggeagin, bandara bukanlah sekadar landasan, melainkan urat nadi tunggal yang menghidupi sektor pendidikan, kesehatan, dan bantuan kemanusiaan. Tanpa akses udara, sekolah kesulitan mendapatkan pengajar dan buku, pasien darurat tak dapat segera dirujuk, dan harga kebutuhan pokok melambung tinggi akibat mahalnya transportasi darat.
"Anak-anak yang sekolah di Wamena sempat tertunda berangkat karena tak ada transportasi. Banyak orang tua memilih tunda sekolah, bukan karena tak mau, tapi tak ada jalan ke sana, " jelas Kepala Distrik Nenggeagin, A.T., saat dikonfirmasi.
Pendeta Ones Tabuni dari Gereja GIDI menambahkan, ruang pendidikan dan kemanusiaan di pedalaman sangat bergantung pada akses transportasi udara. "Bandara ini adalah bagian dari pelayanan kehidupan. Ketika landasan sepi, masa depan anak ikut sepi. Ketika roda pesawat turun, iman dan asa kami ikut terangkat, " ujarnya.
Satgas, Pemda, dan Gereja GIDI telah berkomitmen untuk menjaga keberlanjutan operasional bandara melalui patroli rutin, pos pantau terpadu, dan dukungan personel untuk hanggar darurat. "Kami bukan hanya menunggu pesawat. Kami akan menjaga setiap pendaratan, karena bandara ini milik masyarakat, milik masa depan, " tutup Kapten Subur.
Bagi Omes Tabuni dan ratusan warga lainnya, pendaratan pesawat pagi itu menjadi penanda titik balik; keheningan yang berganti deru harapan, isolasi yang mencair, dan asa yang kembali bersemi di jantung Papua.

Updates.